Sabtu, 09 Mei 2009

Negara Dikalahkan Dalam Kasus Lapindo

Kedatangan korban lumpur dipicu sikap Lapindo yang merevisi janjinya untuk sisa 80 persen pembelian aset tanah dan bangunan korban lumpur. Pada Desember 2008, Lapindo menyatakan akan membayar kekurangan secara cicilian sebesar Rp 30 jt per bulan per berkas. Namun akhir Febuari lalu , Lapindo menyatakan hanya mampu melakukan pembayaran secara cicilan sebesar Rp 15 jt per bulan per berkas. Krisis ekonomi global menjadi alasan. Bagi korban lumpur, mekanisme pembayaran semacam itu melangar kesepakatan awal yang diatur dalam Perpres No 14 Tahun 2006 Tentang Badan Penangulangan Lumpur Sidoarjo. Dalam Perpres itu, Lapindo diwajibkan menyelesaikan pembayaran 80 persen paling lambat 2 th sebelum masa kontrak para korban selesai. Respons korban pun beragam. Keberagaman ini didasarkan kepentingan yang berbeda, salah satunya terkait disparitas kepemilikan aset tanah dan bangunan. Ada warga menerima saja karena asetnya kecil. Mekanisme pembayaran secara cicilan tidak masalah karena dalam waktu singkat akan lunas. Namun, tidak sedikit warga yang jumlah asetnya besar, bahkan ada yang mencapai hampir Rp 5 millyar untuk 1 berkas. Jika dicicil Rp 15 jt per bulan, seluruh kerugiannya baru akan lunas setelah 25 tahun berjalan. Menariknya lagi, sampai saat ini masih ada berkas yang belum lunas uang muka yang 20 persen. Berdasarkan data dari BPLS masih tersisa 349 berkas yang belum menerima pemabayaran 20%, padahal berkas itu sudah dikrim berkali-kali sejak tahun 2008. Usaha memberikan ganti rugi kepada korban lumpur tidak lebih dari sekedar tindakan jual beli aset tanah dan bangunan. Penjualnya korban lumpur, pembelinya Lapindo. Penjual merasa ”barang dagangan” mereka sudah diambil pembeli. Berkas sudah ditangan pembeli, tetapi pembeli masih belum melaksanakan kewajibanya, membayar barang sesuai dengan kontrak awal. Hal penting yang menjadi sorotan publik adalah fakta, di Sidoarjo sedang terjadi pemindahan status kepemilikan tanah dan bangunan dari individu ke korporat jelas memunculkan pertanyaan besar. Bahkan beberapa pihak mengatakan tindakan itu melangar hukum. Namun proses pemindahan status kepemilikan tanah itu di atur oleh hukum positif, yaitu Perpres No 14/2006.

Penyelesain Masalah
Lepas dari kenyataan ini, penyebab utama ketidakjelasan penyelesaian masalah kasus Lumpur Lapindo ini adalah masih belum jelasnya penyebab semburan lumpur. Davies et al (2008) mengatakan gempa Yogyakarta (26/5/2009) tidak bisa memicu semburan karena jarak yang jauh, serta telah terjadi gempa-gempa lain di sekitar wilayah Sidoarjo, tetapi tidak menyebabkan semburan. Namun, Davies juga tidak bisa mengatakan bahwa semburan lumpur adalah 100 persen murni akibat kesalahan pengeboran.
Ketidakje;asan ini berdampak pada siapa yang harus bertanggung jawab atas kasus ini. Apakah pemerintah pusat jika ini adalah bencana alam? Ataukah Lapindo Brantas, Inc., jika ini adalah bencana kegagalan teknologi. Sulit untuk menelusuri terjadinya lumpur karena semua bukti sudah terbenam lumpur atau sengaja dibenamkan pada lumpur purba itu. Namun penanganan bencana yang terjadi akibat semburan lumpur tidak bisa hanya menunggu kepastian hukum. Pembayaran ganti rugi adalah satu dari sekian banyak problem yang muncul akibat kegagalan ini. Salah satunya adalah tentang pembangunan kembali (relokasi) infrastruktur transportasi utama di Jawa Timur, yang merupakan jalur penghubung utama Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya dengan wilayah-wilayah industri di sekitarnya. Tak bisa dipungkiri bahwa Pelabuhan Tanjung Perak adalah pintu keluar sekaligus pintu masuk barang dan jasa tidak hanya bagi wilayah-wilayah tersebut, tetapi juga Indonesia bagian timur (Dick, 2005).
Pada kasus Lapindo, posisi negara selalu buram. Sikap permisif yang ditampilkan negara pada Lapindo, yang selalu mengingkari peraturan dan perundang-undangan sebagai regulasi penanganan dampak lumpur lapindo di Sidoarjo menunjukkan lemahnya posisi tawar negara atas korporasi. Seringkali negara diharuskan mendukung dan memenuhi kebutuhan korporasi, sekalipun harus mengorbankan rakyatnya sendiri. Namun ketika korporasi merugi, rakyatlah yang harus menangung kerugian itu.
Kini kerugian yang harus dialami korporasi akibat krisi keuangan sedang ditanggung oleh korban lumpur. Dengan menunggak pembayaran, Lapindo tengah menumpuk utang (tanpa bunga) pada para korban lumpur. Karena itu yang dibutuhkan korban lumpur saat ini adalah ketegasan dari negara sebagai institusi yang menjamin hak-hak warga negaranya. Apabila negara tak bisa menjamin kedaulatan rakyatnya, kepada siapakah korban lumpur harus berlindung. Sumber : Kompas
»»  read more

Jumat, 01 Mei 2009

Catatan Aksi Kemanusiaan Lumpur Lapindo

Tulisan berseri ini merupakan catatan Tim FPBI selama hampir 3 tahun dalam Aksi Kemanusiaan dalam Bencana Kegagalan Teknologi Lumpur Lapindo...

Peta Potensi Wilayah Bencana
Luas wilayah Kabupaten Sidoarjo ± 71.424,25 ha berada pada 112,5o – 112,9o BT dan 7,3o – 7,5o LS, terdiri dari 18 kecamatan dan 353 Desa/Kelurahan. Sebagian struktur tanah di Kabupaten Sidoarjo terdiri dari jenis-jenis alluvial kelabu dan dengan letak ketinggian dari permukaan laut antara 0-25 meter. Jenis kandungan wilayah Kabupaten Sidoarjo berupa flora, terdiri dari tanaman pangan dan hortikultura, fauna terdiri dari perikanan dan peternakan serta sumber daya alam berupa minyak dan gas bumi.
Kecamatan Porong merupakan kecamatan penting dan potensial di wilayah Kabupaten Sidoarjo mempunyai luas ± 29,82 km2 dengan letak ketinggian dari permukaan laut 4 meter, dengan jumlah penduduk 62.032 jiwa yang tersebar pada 19 Desa/Kelurahan yang mendapat curah hujan rata-rata 1.776 mm dan 82 hari hujan. Memiliki aksesibilitas perhubungan berupa jalan negara yang menghubungkan Propinsi Jawa Timur bagian timur dan barat, jalan tol serta rel kereta api. Potensi yang sangat menonjol adalah diperkirakan terdapatnya sumber daya alam berupa minyak dan gas bumi di wilayah ini yang cukup besar.

Jenis dan Besaran Bencana
  1. Semburan air, lumpur panas dan gas di temukan oleh penduduk muncul kepermukaan ± 150 m arah barat daya sumur eksplorasi migas Banjarpanji #1 pada pagi hari jam 06.00 WIB tanggal 29 Mei 2006 dan kemudian diikuti 4 semburan baru yang muncul di dalam rumah penduduk dan persawahan, namun 4 semburan baru tersebut terhenti pada tanggal 5 Juni 2006, dan yang masih aktif adalah semburan pertama sampai sekarang. Munculnya air, lumpur panas dan gas ini diduga disebabkan oleh tekanan gas bawah tanah (underground blow out - UGBO) ke permukaan dari kelalaian pekerjaan pengeboran migas di daratan (onshore drilling) oleh Lapindo Brantas Inc. Volume lumpur panas dan gas sejak 21 Juni 2006 semakin lama semakin meningkat hingga mencapai ± 150.000 m3 dan memerlukan pengendalian secara seksama untuk mengurangi dampaknya. Sebenarnya sejak tanggal 26 Mei 2006 penduduk Dusun Renomencil, Renokenongo mendengar bunyi sirene dari lokasi sumur eksplorasi Banjarpanji #1, tetapi tidak ada pemberitahuan resmi dari perusahaan pengeboran atas kejadian tersebut (Lembar Fakta-01; Walhi). Di samping itu beberapa warga Desa Siring merasakan ada gerakan (getaran) dalam tanah sejak 18 Mei 2006 terutama pada tengah malam.
  2. Pekerjaan pengeboran tersebut berdasarkan Brantas Production Sharing Contract (Kontrak Kerja Sama) Lapindo Brantas Inc. dengan BP Migas sebagai Pembina dan pengawas Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di dalam menjalankan kegiatan ekplorasi, eksploitasi dan pemasaran migas Indonesia yang dibentuk Pemerintah RI melalui UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi serta PP No. 42/2002 pada tanggal 16 Juli 2002 yang sebelumnya dikerjakan oleh Pertamina dan berdasarkan referensi sumur eksplorasi Porong #1 milik Huffco yang sudah di tutup berjarak ± 6 km sebelah timur. Lapindo Brantas Inc. (LBI) anak perusahaan PT Energi Mega Persada Tbk. (PT EMP) tersebut memulai pengeboran pertama (spud) sumur eksplorasi Banjarpanji #1 yang termasuk dalam Blok Brantas dengan kedalaman total (TD) direncanakan 10.500 kaki atau ± 3.200 m, yang dilakukan pada tanggal 8 Maret 2006 yang dikerjakan oleh kontraktor pelaksana pengeboran PT Medici Citra Nusa.
  3. Lumpur panas dan gas tersebut telah menimbulkan kerusakan dan kerugian cukup besar dengan menenggelamkan 717 ha kawasan persawahan, rumah-rumah penduduk, sekolah, dan infrastruktur yang terdapat pada 8 (delapan) Desa; yaitu Desa Siring Timur, Jatirejo Timur, Renokenongo, dan sebagian Mindi di wilayah Kecamatan Porong; Desa Kedungbendo, sebagian Gempolsari, sebagian Kalitengah dan sebagian Ketapang di wilayah Kecamatan Tanggulangin; dan kemudian yang potensi terancam terkena dampak lumpur tersebut 3 (tiga) Desa yaitu Desa Besuki, Desa Pejarakan, dan Desa Kedungcangkring Utara di wilayah Kecamatan Jabon.
  4. Bencana lumpur panas dan gas ini tergolong Bencana Kegagalan Teknologi (man made disaster) yang kemudian mengaktivasi gunung lumpur (mud volcano). Peristiwa kecelakaan blow out (BO) merupakan suatu hal yang sering terjadi di industri migas, secara statistik tiap 1.000 sumur terjadi 1 kali kecelakaan BO. Di Indonesia, dari tahun 1970-2006 telah terjadi kecelakaan sejenis sebanyak 17 belas kali sehingga terjadinya hampir 2 – 3 tahun sekali, namun kali ini air bercampur lumpur panas dan gas adalah yang terbesar dan sulit dihentikan, para geolog memperkirakan akan berlangsung selama 31 tahun sehingga menjadi insiden blow out terbesar di dunia.
  5. Ancaman bahaya lainnya adalah berupa Banjir Bandang (flash flood) , Penurunan Tanah (land subsidence), Keracunan Zat Kimia dan Gas Beracun (Phenol, Cr, Cu, Pb - CO2, H2S, HCl, SO2, dan CO), Degradasi Lingkungan Hidup (environment degradation), Gangguan Kesehatan Phisik dan Mental (physic and mental health).

Inventarisasi Korban, Kerusakan dan Kerugian
  • Beberapa penduduk mengalami luka bakar 2 – 20 % karena terjebak lumpur panas pada waktu mengungsi atau mengevakuasi harta bendanya.
  • Korban jiwa secara langsung maupun tidak langsung belum dapat dipastikan karena kurangnya data di lapangan akibat kecenderungan para pihak terkait yang tidak terbuka terhadap data korban. Namun korban jiwa akibat terjadinya ledakan pipa gas Pertamina tanggal 22 Nopember 2006 tercatat 14 orang meninggal, 1 orang belum diketemukan dan 12 orang menjalani perawatan di rumah sakit karena luka bakar 1 – 30 %. Kemungkinan masih banyak korban yang belum diketemukan karena tidak ada data pekerja (pengemudi dump truck dan pengisi sand bag)yang berada di dekat sumur Banjarpanji #1 (km 38) waktu terjadi ledakan pipa gas Pertamina tersebut.

Akibat bencana tersebut telah menimbulkan luka bakar dan korban jiwa, kerusakan dan kerugian, antara lain :

A. Korban Manusia
  1. Meninggal Dunia: Terdapat korban meninggal dunia secara tidak langsung karena kondisi fisik yang kurang baik (sesak nafas dan jantung) di pengungsian, diduga juga akibat pengaruh residu gas H2S dan tekanan psikis berat.
  2. Luka-luka: Korban mengalami luka bakar karena pengungsian yang tidak efektif dan evakuasi harta benda mereka setelah lumpur panas memasuki pemukiman penduduk. Data korban meninggal dunia karena dampak tidak langsung dan luka-luka belum bisa di dapatkan karena pihak Lapindo Brantas Inc cenderung tertutup dalam hal ini.
  3. Mengungsi: Pengungsian mulai dilakukan sejak tanggal 8 Juni 2006 ke Kelurahan Renokenongo dan dilanjutkan ke Pasar Porong Baru sejak tanggal 11 Juni 2006. Pengungsian dapat dibagi menjadi 2 tahap yaitu Tahap I : 8 Juni s/d 16 Oktober 2006 jumlahnya mencapai 3.341 KK atau 12.331 jiwa dan Tahap II : 26 Nopember sampai saat ini mencapai 4.611 KK atau 16.650 jiwa. Maka total jumlah pengungsian mencapai 7.952 KK atau 28.981 jiwa.
Kerusakan Rumah Penduduk
Rumah tenggelam mencapai 11.006 unit dan di samping itu terdapat pula rumah-rumah penduduk yang rusak berat walau tidak tenggelam karena mengalami penurunan tanah sehingga rumahnya mengalami retak-retak hingga roboh, hal ini terjadi kebanyakan di Desa Renokenongo, banyak juga rumah penduduk yang rusak ringan karena pernah terendam air lumpur yang terjadi di Desa Mindi, Besuki Kulon dan Pejarakan, sekarang sudah mengering dan kembali normal. Catatan ini masih akan terus berkembang mengingat lumpur purba tersebut masih terus dan belum berhenti.

Kerusakan Lain
Di samping rumah-rumah penduduk yang tenggelam dan rusak, Mesjid/Musholla sejumlah 65 unit, gedung sekolah 33 unit, Pesantren dan TPQ 28 unit dan Pabrik 30 unit serta Kantor 4 unit ikut tenggelam oleh lumpur panas.

Selain air dan lumpur panas yang menimbulkan kerusakan fisik, UGBO juga mengeluarkan gas asam sulfida (H2S) sehingga perlu dilakukan pengungsian segera terhadap penduduk di sekitarnya (www.energi-mp.com). Berdasarkan penelitian H.J. Mukono, Fakultas Kesmas Unair Surabaya (dok. materi seminar lumpur) yang menyatakan bahwa secara kualitas udara, air dan padatan material air, lumpur panas dan gas tersebut dapat mengganggu kesehatan secara akut dan kronis karena melewati baku mutu, antara lain gas NH3, Phenol, Zn, Cu, Cr, dan Pb. Gangguan kesehatan oleh gas NH3 tersebut secara akut dapat merusak selaput lendir mata, hidung, saluran pernafasan, kulit sedangkan secara kronis menyebabkan iritasi saluran pernafasan atas dan bawah (edema) dan bronchitis kronis. Sedangkan unsur Cu, Cr dan Pb secara akut menyebabkan mual, muntah, diare, dan alergi kulit hingga kronis dapat mengakibatkan anemia, cirrhosis hepatitis, gangguan reproduksi, wilson disease, Indian childhood cirrhosis, idiopathic copper toxicosis, system uropoitik, system hemopoitik, system syaraf pusat, merusak paru-pembuluh darah, dan menurunkan imunitas tubuh. Demikian juga dengan phenol dapat menyebabkan korosif, secara sistemik dapat menyebabkan kulit terbakar dan melepuh, sampai kelainan jantung dan ginjal.

Kronologis Peristiwa Penting Tahun 2006

8 Maret
Lapindo Brantas Inc. mulai melakukan pengeboran sumur eksplorasi Banjarpanji #1 di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur dengan kedalaman total direncanakan sekitar 10.500 kaki atau 3.200 m lebih.

26 Mei
Terdengar bunyi sirene oleh Penduduk Desa Renomencil dari lokasi Sumur Eksplorasi Banjar Panji #1, milik Lapindo Brantas, Inc, tetapi tidak ada pemberitahuan resmi atas kejadian tersebut (Lembar Fakta-01; Walhi).

29 Mei
Pukul 06.00 WIB terjadi blow out lumpur panas dan gas di Desa Renokenongo, dekat sumur eksplorasi Banjar Panji #1 milik Lapindo Brantas. Inc

30 Mei
Pers release Manajemen PT Energi Mega Persada, Tbk induk perusahaan Lapindo Brantas, Inc (Thomas Leo Soulsby, Direktur EMP) mengenai terjadinya gas, uap dan air yang meluap di sebelah Sumur Ekplorasi Banjar Panji #1 dan mengandung gas H2S sehingga mengharuskan dilakukan pengungsian segera terhadap penduduk sekitar, dan menjelaskan bahwa telah mengasuransikan aktivitas pengeboran dan biaya yang timbul terkait dengan pengungsian penduduk serta tidak ingin kehilangan sumur pengeborannya.

30 Mei
Terjadi peningkatan semburan lumpur panas dan gas, telah menggenangi sawah milik penduduk.

31 Mei
Terjadi 2 (dua) semburan baru di Dusun Balongnongo, Renokenongo – di rumah penduduk dan di persawahan.

2 Juni
Lapindo Brantas, Inc datangkan ahli dari Singapura dan Kanada (Alert Disaster Control PTE. LTD) untuk atasi semburan lumpur.

5 Juni
2 (dua) semburan di Dusun Balongnongo berhenti, dan tinggal semburan pertama yang masih aktif. Rapat koordinasi ESDM Jatim, Pemkab Sidoarjo, dan Lapindo kemudian membentuk tim terpadu dengan mendirikan Posko di Pendopo dan Lapindo.

6 Juni
Talk show di JTV untuk sosialisasi semburan lumpur oleh pihak terkait.

7 Juni
Terjadi peningkatan semburan lumpur

8 Juni
Jalan Tol di tutup satu jalur, sosialisasi pembuangan lumpur ke Kali mati dan penduduk jabon menolak.

9 Juni
Tanggul di KM 38 di jebol penduduk Desa Siring di tiga tempat jam 15.00 WIB, sehingga penduduk Siring bersitegang dengan penduduk Reno. Jalur Tol ditutup total.

11 Juni
Terjadi pengungsian penduduk Dusun Renomencil, Balongnongo dan Renowangkal ke Balai Kelurahan Renokenongo dan Pengungsian Pasar Porong Baru.

15 Juni
Koordinator korban semburan lumpur panas dan gas yang selanjutnya di sebut dengan Forum Silaturahmi Rakyat Korban Lumpur Lapindo (FSRKLL) seorang pensiunan PNS bernama Bpk. Sapariadi (60 th) penduduk Desa Renokenongo menyampaikan keluhan dan membutuhkan bantuan fasilitator, advokasi dan tenaga sukarelawan untuk penanganan korban semburan lumpur panas dan gas di Porong, Sidoarjo. Tim FPBI bersama Tagana Jatim melakukan survey dan pemetaan ke lokasi musibah untuk persiapan

17 Juni
Pendirian Posko Lapangan FPBI dan Tagana Jatim di Desa Glagah Arum
Rapat I dengan 60 orang penduduk Renokenongo di Posko Lapangan Desa Glagah Arum, menyepakati untuk membentuk forum penduduk korban lumpur lapindo dan memperluas partisipasi dan pemberdayaan penduduk.

19 Juni
Rapat II dengan 150 orang penduduk Renokenongo, Jatirejo dan Kedungbendo di Posko Glagah Arum, menyepakati klausul untuk mengajukan solusi bukan tuntutan dan sosialisasi kepada penduduk desa lain yang menjadi korban.

21 Juni
Rapat III dengan 100 orang penduduk Renokenongo, Jatirejo dan Kedungbendo di Posko Glagah Arum, membahas dan menyepakati klausul untuk mengajukan solusi bukan tuntutan dan sosialisasi kepada penduduk desa lain yang menjadi korban.

23 Juni
Rapat IV dengan 100 orang penduduk Renokenongo, Jatirejo dan Kedungbendo di Posko FPBI Glagah Arum, membahas dan menyepakati klausul untuk mengajukan solusi bukan tuntutan dan sosialisasi kepada penduduk desa lain yang menjadi korban. Sekaligus menyusun draft surat ke Lapindo dan tembusan ke pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

3 Juli
Fasilitasi FSRKLL ke Lapindo Brantas Inc. dan ke Bupati Sidoarjo untuk mengirim surat solusi

9 Juli
Posko Bersama FPBI dan Tagana Jatim di Pengungsian Pasar Porong Baru operasional dengan demikian Posko Lapangan di Glagah Arum tidak difungsikan lagi.
Memfasilitasi pertemuan penduduk 4 Desa di Kecamatan Porong yang dihadiri 100 penduduk dan sepakat membentuk FSRKLL 4 Desa dengan unsure Kepala Desa/Lurah, Tokoh Penduduk masing-masing 5 orang.

10 Juli
Fasilitasi pertemuan FSRKLL dengan Bupati Sidoarjo di Pendopo Kabupaten Sidoarjo untuk membahas 5 poin solusi usulan penduduk.

9 Agustus
Emergency call personil dan menempatkan 9 personil Tim Forum Peduli Bencana Indonesia di Posko Orari Desa Jatirejo. Koordinator observasi keliling tanggul di Desa Siring dan menganjurkan evakuasi untuk penduduk Siring dan Jatirejo karena kondisi tanggul sudah membahayakan.

10 Agustus
Jam 09.00 WIB tanggul di belakang Koramil Porong, Desa Siring jebol dan menimbulkan banjir bandang air lumpur (silt) yang mengakibatkan kepanikan dan pengungsian. Sekjen FPBI bersama masyarakat dan TNI untuk melakukan penyelamatan penduduk Siring RT 11 bernama Liana (40 th) bekerjasama dengan 2 personil Yonif 516/Charaka Yudha. Seluruh personil melakukan upaya-upaya evakuasi di Desa Siring dan Jatirejo.


Kronologis PERISTIWA dan kehadiran TIM FORUM PEDULI BENCANA INDONESIA bersama TAGANA JATIM di lokasi lumpur purba LUSI.

Tanggal 26 Mei 2006, terdengar sirene meraung-raung dari sumur eksplorasi migas Banjar Panji #1 milik Lapindo Brantas, Inc tanpa ada penjelasan apa yang sedang terjadi dari di lokasi tersebut (dok. Lembar Fakta 01-Walhi). Pagi itu Senin, 29 Mei 2006 jam 06.00 WIB tepatnya 150 meter arah barat daya dari sumur eksplorasi muncul SEMBURAN LUMPUR PANAS BERCAMPUR AIR DAN GAS. Pers release Manajemen PT Energi Mega Persada, Tbk induk perusahaan Lapindo Brantas, Inc (Thomas Leo Soulsby, Direktur EMP) 30 Mei 2006 mengenai munculnya gas, uap dan air yang meluap ke permukaan di sebelah barat daya Sumur Ekplorasi Banjar Panji #1 dan mengandung gas H2S sehingga perlu dilakukan pengungsian segera terhadap penduduk sekitar, dan menjelaskan bahwa telah mengasuransikan aktivitas pengeboran dan biaya yang timbul terkait dengan pengungsian penduduk serta tidak ingin kehilangan sumur pengeborannya, juga melakukan kerjasama dengan pejabat pemerintah setempat (dok. www.eEnergi-mp.com). Kemudian 1 Juni 2006, timbul 2 (dua) semburan baru di Dusun Balongnongo, Renokenongo di dalam rumah penduduk dan di persawahan. Namun 5 Juni 2006, semburan di Dusun Balongnongo berhenti, dan tinggal semburan pertama yang masih aktif. Rapat koordinasi ESDM Jatim, Pemkab Sidoarjo, dan Lapindo kemudian membentuk tim terpadu dengan mendirikan Posko di Pendopo dan Lapindo. Dilaksanakan Talk Show di stasiun TV lokal JTV untuk sosialisasi semburan lumpur oleh pihak terkait. Sejak 7 Juni 2006 terjadi peningkatan semburan lumpur dan berakibat jalan Tol di tutup satu jalur, penduduk Desa Siring karena takut rumahnya tenggelam akhirnya menjebol tanggul di KM 38 di tiga tempat pada jam 15.00 WIB, berakibat terjadi potensi konflik horisontal antara penduduk Siring dengan penduduk Reno sehingga menyebabkan jalur Tol ditutup total. Sejak 8 Juni 2006 terjadi pengungsian penduduk Dusun Renomencil, Balongnongo dan Renowangkal ke Balai Kelurahan Renokenongo dan Pengungsian Pasar Porong Baru serta rumah-rumah saudara terdekat pada 11 Juni 2006.

PENDUDUK KORBAN memohon bantuan RELAWAN dalam upaya mencari SOLUSI
Tepatnya ketika matahari sedang bersinar membakar ubun-ubun kota Surabaya, 15 Juni 2006 seorang pensiunan PNS bernama Sapariadi (60 th) tokoh penduduk Desa Renokenongo menyampaikan keluhan dan membutuhkan bantuan fasilitator, advokasi dan tenaga sukarelawan untuk penanganan korban semburan lumpur panas dan gas di Porong, Sidoarjo kepada Tim FPBI. Sekjen FPBI merasa perlu mengadakan orientasi dan survey lokasi untuk memetakan dan pendataan permasalahan terkait musibah lumpur tersebut. Tindak lanjut dilakukan melalui pertemuan 4 kali pada tanggal 17, 19, 21, dan 23 Juni 2006 dengan 60-100 penduduk dari Desa Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo di Posko Lapangan Desa Glagah Arum, untuk memfasilitasi pembentukan forum penduduk korban lumpur dan memperluas partisipasi dan pemberdayaan penduduk dalam mencari upaya solusi atas penderitaan yang dialami penduduk. “Solusi bukan tuntutan, rumahkan pengungsi kerna dengan alasan apapun pengungsian tidak manusiawi” Ujar Sapariadi dengan mata berkaca-kaca. Namun akhirnya bernapas lega dengan suara bulat dapat membentuk Forum Silaturahmi Rakyat Korban Lumpur Lapindo (FSRKLL) dengan rumusan solusi a.l. ; (1). Merumuskan status musibah, pengungsi dan merumahkan kembali pengungsi atas dasar kemanusiaan dengan memberikan bantuan kontrak rumah (relokasi sementara) Rp.2.500.000,- selama 2 tahun , biaya boyongan Rp.500.000,- dan Jadup Rp.500.000,-/jiwa/bulan, (2). Memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan dan pendidikan tanpa dipungut biaya, (3). Mengupayakan kompensasi usaha (UKM sektor informal) atau mata pencaharian dalam rangka pemulihan, (4). Mencari solusi untuk upaya ganti rugi rumah, pekarangan, sawah dan tanaman serta ternak. Rumusan solusi itu dikirim langsung ke pada Manajemen Lapindo Brantas Inc. pada 3 Juli 2006 dengan tembusan kepada Pemerintah Pusat hingga daerah yang diwakili oleh Sapariadi selaku Koordinator FSRKLL dan diantar 15 orang penduduk korban.

BUPATI Sidoarjo mendukung SKEMA SOLUSI FSRKLL
Pada 7 Juli 2006 Bupati Sidoarjo mengundang FSRKLL dan didampingi Tim FPBI bersama Tagana Jatim membahas usulan solusi. Bupati menyatakan sangat tertarik dan setuju dengan 4 poin skema solusi FSRKLL dan mendukung untuk menindaklanjuti secara seksama, di samping itu juga menganjurkan untuk diadakan pertemuan penduduk 4 desa dengan fasilitator Satlak PB Sidoarjo. Melalui dialog yang alot para pihak; FSRKLL, Tim FPBI, Pemkab Sidoarjo, Lapindo Brantas Inc., Tagana Jatim, dan Tim ITS akhirnya usulan bantuan, yaitu :
• Biaya kontrak rumah Rp.5.000.000,-/2 tahun,
• Biaya boyongan Rp.500.000,- satu kali,
• Biaya Jadup Rp.300.000,-/jiwa/bulan selama 6 bulan, yang awalnya di usulkan selama 2 tahun.
Namun sayang pihak LBI melakukan pengumuman solusi tersebut melalui pihak ketiga yang tidak termasuk dalam tim negosiasi sehingga peristiwa tersebut nyaris terjadi konflik horisontal karena banyak pihak yang memanfaatkan situasi dan kondisi dengan memancing ikan di air keruh untuk kepentingan kelompok ataupun disi sendiri. Tim FPBI menyarankan kepada Tim FSRKLL untuk tetap tenang dan tidak menanggapi issue ataupun provokasi dalam bentuk apapun. Persatuan dan kesabaran merupakan kata kunci dalam menempuh penyelesaian musibah ini. Skema solusi FSRKLL akhirnya dapat disetujui oleh seluruh pihak dan dilaksanakan penyerahan secara simbolis pada 26 Agustus 2006 kepada penduduk korban oleh Lapindo Brantas, Inc.
»»  read more

Minarak Abaikan BPN

Benarkah Cash and Resettlement Solusi Terakhir. Sedangkan banyak diantara korban lumpur lapindo masih mengharapkan skela solusi Cash and Carry dan beberapa justru tidak mengajukan ganti rugi.

PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) kembali menekankan bahwa Cash and Resettlement sebagai penyelesaian berkas nonsertefikat. Hal itu merupakan solusi terbaik antar warga dan PT Minarak. Sebab dikhawatirkan terjadi pelangaran aturan bila jual beli dilakukan terhadap berkas nonsertifikat. Keharusan menyertakan setifikat didasarkan pada pasal 26 ayat 2 Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960. Pada peraturan tersebut dijelaskan bahwa jual beli tanah yang sah harus disertai berkas sertifikat hak milik (SHM) atau sertifikat hak bangunan (SHGB). Sikap tersebut dipertahankan PT Minarak, meskipun ada pernyataan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) pusat bahwa status tanah nonsertifikat korban lumpur sama dengan tanah bersetifikat. Pernyataan tersebut muncul setelah perwakilan warga bersama Bupati Sidoarjo Win Hendarso dan Gubernur Jatim Soekarwo menemui pimpinan BPN pusat beberapa waktu lalu. Vice President PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabusalla mengatakan, pihaknya tidak berani ambil resiko, dan tidak ingin ada permasalahan muncul dikemudian hari. Makanya kami cari jalan keluar yang saling menguntungkan. Yakni Cash and Resettlement.Vice President PT Minarak menjelaskan Cash and Resettlement merupakan hasil kesepakatan antara PT Minarak dan Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL). Hasil kesepakatan itu diterapkan dalm menyelesaian tanah korban lumpur yang nonsertifikat. Skema tersebut menetapkan pembayaran tunai dilakukan untuk luas bangunan. Sedangkan luas tanah diganti dengan tanah yang bisa dijual kembali satu tahun kemudian. Andi merinci ada 12.886 berkas korban lumpur yang menjadi tanggung jawab PT Minarak. Di antara jumlah tersebut 4.722 berkas nonsertifikat, dan berkas nonsetifikat itu 2.150 adalah GKLL yangbersedia mengikuti kesepakatan tersebut. Jumlahnya bertambah 1.120 sehingga menjadi 3.270 berkas. Menurut Andi , jumlah itu terus bertambah, dan bahkan pengungsi di Pasar Porong Baru juga turut memilih penyelesaian dengan skema Cash and Resettlement. Totalnya adalah 433 berkas. Dengan demikian, yang mengikuti skema tersebut adalah 3.703 berkas. Sedangkan yanng belum terselesaikan sama sekali dan bertahan pada skema Cas and Resettlement tinggal 1.019 berkas. Andi mengajak warga untuk berpikir ke arah solusi. Saat itu penyelesaian masalah sosial selalu terkendala soal teknis. Mulai Cash and Carry, Resettlement, hingga Cash and Resettlement. Selalu diwarnai dengan permasalahan. Akibatnya, masalah sosial tidak kunjung selesai. Jujur kami prihatin atas kondisi tersebut. Secara terpisah, Sunarso sebagai koordinator warga pengungsi, membenarkan ucapan Andi. Sekitar 90 persen berkas diallihkan pada skema Cash and Resettlement. Alasanya tanah sudah dipersiapkan di Kahuripan Nirwana Villge (KNV). Disinggung soal tanah di Ds. Kedung Solo Kec. Porong , Sunarto menyatakan tidak ada masalah. Tanah yang didapat ganti rugi tersebut bisa dijual kembali.Jadi sama saja dan kami tak jadi masalah. Jelas Sunarto. Sumber : Jawa Pos
»»  read more

Minggu, 12 April 2009

Lumpur Lapindo: The Big Failure

Lumpur Lapindo, peristiwa bencana kegagalan teknologi yang sangat besar dan panjang (the big failure) di Indonesia. Sejak kejadian tanggal 29 Mei 2006 sampai saat ini peristiwa tersebut telah menjelang 3 tahun. Peristiwa ini telah menimbulkan kerusakan dan kerugian serta jatuhnya korban masyarakat sipil, berawal dari kejadian semburan lumpur panas bercampur gas (underground blow out) di sumur pengeboran Banjar Panji 1 (BJP 1) di salah satu titik pengeboran dalam Blok Brantas yang terletak di Dusun Renomencil, Desa Renokenongo, Kec. Porong, Sidoarjo. Pengeboran dilakukan di lokasi padat industri dan pemukiman. Blok Brantas dimiliki oleh Lapindo Brantas, Inc . (LBI), sebuah anak perusahaan dari Group PT Energi Mega Persada, Tbk (EMP) milik Aburizal Bakrie. Pengeboran Sumur BJP 1 dilaksanakan dengan kerjasama patungan (joint ventura) dengan Alton International Singapore dan PT Medici Citra Nusa. Dalam kepemilikan saham LBI diantaranya EMP, Medco dan Santos, Australia. Sedangkan Blok Brantas sendiri merupakan Kontrak Kerja Sama antara LBI dengan BP Migas.
Tak dapat dipungkiri kenapa lumpur lapindo disebut bencana besar dan panjang, terlihat dari penanganan teknis, hukum dan sosial selama ini yang buruk dan telah menuai dampak meluas yang berkepanjangan bagi masyarakat sipil dan wilayah di sekitarnya.

Semburan tersebut sejak pertama keluar cenderung meningkat dari 5.000 m kubik/hari menjadi 50.000 m kubik/hari dan meningkat menjadi 150.000 m kubik/hari analoginya yang bila diangkut dengan truk membutuhkan 4.000 unit truk setiap harinya. Semburan lumpur yang tidak terkendali tersebut telah menenggelamkan rumah, infrastruktur, sawah dan anak sungai. Genangan lumpur akan semakin meluas karena diperkirakan oleh ilmuwan semburan tersebut akan berlangsung selama 100 tahun hingga berhenti dengan sendirinya dan potensi terjadi penurunan dan penaikan tanah (land subsidence).

Dalam penanganan teknis dalam skenario penghentian dan penanggulangan lumpur tersebut belum menampakkan keberhasilan secara signifikan, antara lain :

  1. Skenario penghentian semburan lumpur: Skenario 1 : Snubbing unit (gagal). Skenario 2 : Re-entry Well dengan Side Tracking (pengeboran menyamping) (gagal). Skenario 3 : Relief Well (pengeboran miring) dengan menggunakan 3 rig yang akan diletakkan di desa Siring, Renokenongo dan Jatirejo (gagal). Skenario 4 : Memasukkan Rangkaian Bola Beton (gagal). Wacana Skenario 5 : Penerapan Hukum Archimides oleh Tim ITS.
  2. Skenario penanggulangan lumpur masih mengalami kegagalan hal ini terlihat beberapa kali tanggul penahan lumpur jebol dan lumpur terus meluas : Skenario 1: Tanggul tanah sirtu dibatasi kebutuhan material dan operasional peralatan serta terjadinya penurunan tanah di wilayah tersebut. Skenario 2 : Pengaliran lumpur ke Kali Porong dibatasi pola aliran semburan, likuiditas, pompa macet, dan sidimentasi di Kali Porong serta degradasi lingkungan.

Tim Forum Peduli Bencana Indonesia yang telah bertugas dalam aksi kemanusiaan sejak tanggal 11 Juni 2006 di wilayah bencana sampai saat ini. Pernah mengusulkan kepada Tim Nasional PLS untuk metode pengaliran lumpur dengan Metode Kanalisasi Terarah pada tahun 2007 namun di tolak. Metode Kanalisasi Terarah dilakukan mengingat semburan lumpur tidak dapat dihentikan maka dengan memanfaatkan perbedaan ketinggian tanggul cincin di pusat semburan (big hole) dengan tanggul Kali Porong sebesar 6-10 m. Pada pusat semburan dibuat semacam silo (tabung pipa ukuran besar) yang dibuat coakan satu sisi dan dari sana dibuat kanal dari beton dengan campuran lumpur untuk menghemat biaya (Hasil riset pemanfaatan lumpur Tim FPBI). Kemudian penyedotan air Kali Porong ke Silo untuk menambah likuiditas lumpur dalam memperlancar aliran. Metode kanal ini cukup murah, sehingga tidak memerlukan pembuatan tanggul berlebihan dan dapat mengurangi dampak meluasnya genangan lumpur.

Dalam penegakan hukum terhadap kegagalan teknologi dan keselamatan lingkungan belum terlihat hasilnya, antara lain :
  1. Berdasarkan hasil keputusan PN Jakarta Selatan menyatakan bahwa Lapindo Brantas tidak bersalah. Walaupun dalam tingkat banding masih dalam proses penyidikan kepolisian dan tidak adanya persepsi dan kesepahaman yang sama dalam pentidikan tindak pidana dengan pihak kejaksaan. Padahal sesuai rilis LBI pada tanggal 15 Juni 2006, rilis ini mengatakan bahwa kondisi casing yang telah terpasang dinyatakan tidak aman dan tidak layak(sering rusak). Hal ini juga diketahui bahwa proses drilling tiba-tiba terhenti melebihi batas toleransi pengeboran. Kemudian LBI yang seharusnya memasang pipa selubung casing 9 5/8; pada kedalaman 8500 ft, tetapi pemboran lubang 12-1/4; masih terus dilakukan hingga menembus kedalaman 9287 ft justru mengakibatkan loss circulation (kehilangan lumpur pemboran ke dalam formasi).
  2. Adanya cacat hukum dalam dokumen UKL/UPL yang dimiliki oleh LBI karena secara materil tidak dapat menilai dan mengukur dampak lingkungan yang diakibatkan dari usaha pengeboran dan secara formal tidak melalui proses yang layak dan memadai.
  3. Adanya kelalaian Pemerintah, dalam hal ini instansi yang berwenang yaitu BP Migas untuk melakukan pengawasan atas kaidah keteknikan yang baik, kelayakan peralatan dan kapasitas operator/sub kontraktor dalam proses pengeboran serta keselamatan lingkungan sekitarnya.
  4. Adanya pemyimpangan perijinan dalam pembebasan tanah milik masyarakat untuk pengeboran, dalam pembebasan dinyatakan oleh LBI dan perantaranya bahwa akan dibangun peternakan ayam. Jual beli dalam pembebasan tanah dilakukan di bawah tangan dengan perbedaan harga antara pemilik tanah.
  5. Tidak adanya penjelasan resmi dan penangunggjawab atas terjadinya ledakan pipa gas di dekat pusat semburan yang terjadi pada tanggal 22 Nopember 2006 jam 20.00 WIB. Ledakan pipa gas tersebut menimbulkan kepanikan luar biasa pada masyarakat dan korban meninggal 14 orang.

Dalam penanganan masalah sosial terdapat ketidak jelasan dan cenderung berkepanjangan bagi kurang lebih 14.000 KK dari 10 desa di Kec. Porong, Kec. Tanggulangin dan Kec. Jabon, antara lain:
  1. Terlihat salah kaprah dalam pemahaman dan pelaksanaan ganti rugi yang diberikan kepada warga korban, mengakibatkan hilangnya hak warga atas hak milik dan hilangnya kedaulatan negara atas tanah yang didalamnya masih terdapat kandungan sumber daya alam. Ganti rugi warga korban menjadi skema jual beli tanah dan bangunan warga korban yang sampai saat tulisan ini dibuat masih belum terselesaikan dan mengalami perubahan skema menjadi 4 skema baru yaitu Skema Cash and Carry, Skema Cash and Resetlement, Skema Relokasi Plus dan Skema Wakaf serta dilapangan terdapat 64 KK tidak mengajukan ganti rugi. Pembayaran Cash and Carry mengalami perubahan menjadi cicilan dengan alasan LBI mengalami kesulitan keuangan. Pembayaran ganti rugi 20 % bagi warga juga masih tersisa 349 KK tanpa alasan yang jelas dari LBI sampai saat ini.
  2. Penanganan pengungsi di pengungsian Pasar Porong Baru terbatas dan sejak tahun 2007 Satlak PB Kab. Sidoarjo telah menghentikan pengelolaan pengungsian. Pengelolaan pengungsian yang tidak terkoordinasi dan terkesan seadanya rawan menimbulkan konflik sosial pengungsi.
  3. Berdasarkan catatan terbatas bahwa telah terjadi lebih dari 500 kali demonstrasi warga korban untuk menuntut keadilan dalam proses ganti rugi dan pengungsian baik kepada LBI, Pemkab Sidoarjo, DPRD Sidoarjo, Pemprop Jatim, DPRD Jatim, maupun Pemerintah Pusat di Jakarta sampai hari ini.
Karena ruang yang terbatas maka Tim FPBI akan menuliskan Bencana Kegagalan Teknologi Lumpur Lapindo dalam beberapa rangkaian seri tulisan berikutnya. Tim FPBI memohon doa dan dukungan pembaca karena Tim FPBI akan meninggalkan lokasi bencana tepat pada 3 tahun bencana ini terjadi yang selalu menimbulkan kepedihan dan penderitaan bagi masyarakat sipil tersebut.
»»  read more

Desakan Relokasi Tiga Desa


Dinilai sudah tidak layak huni dan berbahaya. Tim Pemantau Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (TP2LS) DPR RI meminta relokasi 3 (tiga ) desa segera dilaksanakan yaitu Kel. Siring Barat, Jatirejo dan Mindi yang semuanya berada di wilayah Kec. Porong. Permintaan itu didasarkan pada kondisi wilayah tersebut yang sangat tidak layak lagi untuk dtinggali, sesuai hasil survey Tim Independen. Adapun terdapat 9 Rukun Tetangga (RT) yang masuk dalam rekomendasi tersebut. Kel. Mindi meliputi RT 10, 13 dan 15. Kel. Siring Barat meliputi RT 1, 2, 3 dan 12 sedangkan di Kel. Jatirejo mencakup RT 1 dan RT 2.
Di wilayah tersebut ditemukan 40 semburan aktif yang disertai gas mudah terbakar (bubble).
Rekomendasi ini ditindaklanjuti dengan rencana relokasi, dana tersebut rencanya berasal dari APBN.
Namun Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) belum berkeinginan melaksakan relokasi, Alasannya belum ada petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelaksanaan (juklak).
Ketua Tim TP2LS Priyo Budi Santoso mengabaikan alasan tersebut dan mengatakan ,“BPLS tidak perlu menunggu juknis ataupun juklak, yang penting relokasi dilaksanakan beriringan dengan petunjuk tersebut”
Kondisi wilayah tersebut sudah sangat membahayakan masyarakat. Harapannya relokasi dilaksanakan sebelum jatuhnya korban.
Ketua BPLS Sunarso menganggap bahwa TP2LS selalu berlebihan. Pelaksanaan relokasi harus diikuti juklak dan juknis, sebab anggaran yang dikeluarkan dari APBN harus bisa dipertanggungjawabkan dan ada dasar hukumnya. Jika TP2LS mendesak Sunarso meminta ada hitam di atas putih, seperti surat edaran yang bisa dijadikan dasar pelaksanaan relokasi warga di wilayah tersebut. Petunjuk teknis relokasi diantaranya Status rumah yang ditinggalkan hingga status rumah yang ditempati, apabila tidak diatur secara jelas dapat timbul permasalahan. Kami bekerja sesuai dengan aturan yang berlaku. Sumber : Jawa Pos
»»  read more

Followers

Dialog Peduli


ShoutMix chat widget