Minggu, 12 April 2009

Lumpur Lapindo: The Big Failure

Lumpur Lapindo, peristiwa bencana kegagalan teknologi yang sangat besar dan panjang (the big failure) di Indonesia. Sejak kejadian tanggal 29 Mei 2006 sampai saat ini peristiwa tersebut telah menjelang 3 tahun. Peristiwa ini telah menimbulkan kerusakan dan kerugian serta jatuhnya korban masyarakat sipil, berawal dari kejadian semburan lumpur panas bercampur gas (underground blow out) di sumur pengeboran Banjar Panji 1 (BJP 1) di salah satu titik pengeboran dalam Blok Brantas yang terletak di Dusun Renomencil, Desa Renokenongo, Kec. Porong, Sidoarjo. Pengeboran dilakukan di lokasi padat industri dan pemukiman. Blok Brantas dimiliki oleh Lapindo Brantas, Inc . (LBI), sebuah anak perusahaan dari Group PT Energi Mega Persada, Tbk (EMP) milik Aburizal Bakrie. Pengeboran Sumur BJP 1 dilaksanakan dengan kerjasama patungan (joint ventura) dengan Alton International Singapore dan PT Medici Citra Nusa. Dalam kepemilikan saham LBI diantaranya EMP, Medco dan Santos, Australia. Sedangkan Blok Brantas sendiri merupakan Kontrak Kerja Sama antara LBI dengan BP Migas.
Tak dapat dipungkiri kenapa lumpur lapindo disebut bencana besar dan panjang, terlihat dari penanganan teknis, hukum dan sosial selama ini yang buruk dan telah menuai dampak meluas yang berkepanjangan bagi masyarakat sipil dan wilayah di sekitarnya.

Semburan tersebut sejak pertama keluar cenderung meningkat dari 5.000 m kubik/hari menjadi 50.000 m kubik/hari dan meningkat menjadi 150.000 m kubik/hari analoginya yang bila diangkut dengan truk membutuhkan 4.000 unit truk setiap harinya. Semburan lumpur yang tidak terkendali tersebut telah menenggelamkan rumah, infrastruktur, sawah dan anak sungai. Genangan lumpur akan semakin meluas karena diperkirakan oleh ilmuwan semburan tersebut akan berlangsung selama 100 tahun hingga berhenti dengan sendirinya dan potensi terjadi penurunan dan penaikan tanah (land subsidence).

Dalam penanganan teknis dalam skenario penghentian dan penanggulangan lumpur tersebut belum menampakkan keberhasilan secara signifikan, antara lain :

  1. Skenario penghentian semburan lumpur: Skenario 1 : Snubbing unit (gagal). Skenario 2 : Re-entry Well dengan Side Tracking (pengeboran menyamping) (gagal). Skenario 3 : Relief Well (pengeboran miring) dengan menggunakan 3 rig yang akan diletakkan di desa Siring, Renokenongo dan Jatirejo (gagal). Skenario 4 : Memasukkan Rangkaian Bola Beton (gagal). Wacana Skenario 5 : Penerapan Hukum Archimides oleh Tim ITS.
  2. Skenario penanggulangan lumpur masih mengalami kegagalan hal ini terlihat beberapa kali tanggul penahan lumpur jebol dan lumpur terus meluas : Skenario 1: Tanggul tanah sirtu dibatasi kebutuhan material dan operasional peralatan serta terjadinya penurunan tanah di wilayah tersebut. Skenario 2 : Pengaliran lumpur ke Kali Porong dibatasi pola aliran semburan, likuiditas, pompa macet, dan sidimentasi di Kali Porong serta degradasi lingkungan.

Tim Forum Peduli Bencana Indonesia yang telah bertugas dalam aksi kemanusiaan sejak tanggal 11 Juni 2006 di wilayah bencana sampai saat ini. Pernah mengusulkan kepada Tim Nasional PLS untuk metode pengaliran lumpur dengan Metode Kanalisasi Terarah pada tahun 2007 namun di tolak. Metode Kanalisasi Terarah dilakukan mengingat semburan lumpur tidak dapat dihentikan maka dengan memanfaatkan perbedaan ketinggian tanggul cincin di pusat semburan (big hole) dengan tanggul Kali Porong sebesar 6-10 m. Pada pusat semburan dibuat semacam silo (tabung pipa ukuran besar) yang dibuat coakan satu sisi dan dari sana dibuat kanal dari beton dengan campuran lumpur untuk menghemat biaya (Hasil riset pemanfaatan lumpur Tim FPBI). Kemudian penyedotan air Kali Porong ke Silo untuk menambah likuiditas lumpur dalam memperlancar aliran. Metode kanal ini cukup murah, sehingga tidak memerlukan pembuatan tanggul berlebihan dan dapat mengurangi dampak meluasnya genangan lumpur.

Dalam penegakan hukum terhadap kegagalan teknologi dan keselamatan lingkungan belum terlihat hasilnya, antara lain :
  1. Berdasarkan hasil keputusan PN Jakarta Selatan menyatakan bahwa Lapindo Brantas tidak bersalah. Walaupun dalam tingkat banding masih dalam proses penyidikan kepolisian dan tidak adanya persepsi dan kesepahaman yang sama dalam pentidikan tindak pidana dengan pihak kejaksaan. Padahal sesuai rilis LBI pada tanggal 15 Juni 2006, rilis ini mengatakan bahwa kondisi casing yang telah terpasang dinyatakan tidak aman dan tidak layak(sering rusak). Hal ini juga diketahui bahwa proses drilling tiba-tiba terhenti melebihi batas toleransi pengeboran. Kemudian LBI yang seharusnya memasang pipa selubung casing 9 5/8; pada kedalaman 8500 ft, tetapi pemboran lubang 12-1/4; masih terus dilakukan hingga menembus kedalaman 9287 ft justru mengakibatkan loss circulation (kehilangan lumpur pemboran ke dalam formasi).
  2. Adanya cacat hukum dalam dokumen UKL/UPL yang dimiliki oleh LBI karena secara materil tidak dapat menilai dan mengukur dampak lingkungan yang diakibatkan dari usaha pengeboran dan secara formal tidak melalui proses yang layak dan memadai.
  3. Adanya kelalaian Pemerintah, dalam hal ini instansi yang berwenang yaitu BP Migas untuk melakukan pengawasan atas kaidah keteknikan yang baik, kelayakan peralatan dan kapasitas operator/sub kontraktor dalam proses pengeboran serta keselamatan lingkungan sekitarnya.
  4. Adanya pemyimpangan perijinan dalam pembebasan tanah milik masyarakat untuk pengeboran, dalam pembebasan dinyatakan oleh LBI dan perantaranya bahwa akan dibangun peternakan ayam. Jual beli dalam pembebasan tanah dilakukan di bawah tangan dengan perbedaan harga antara pemilik tanah.
  5. Tidak adanya penjelasan resmi dan penangunggjawab atas terjadinya ledakan pipa gas di dekat pusat semburan yang terjadi pada tanggal 22 Nopember 2006 jam 20.00 WIB. Ledakan pipa gas tersebut menimbulkan kepanikan luar biasa pada masyarakat dan korban meninggal 14 orang.

Dalam penanganan masalah sosial terdapat ketidak jelasan dan cenderung berkepanjangan bagi kurang lebih 14.000 KK dari 10 desa di Kec. Porong, Kec. Tanggulangin dan Kec. Jabon, antara lain:
  1. Terlihat salah kaprah dalam pemahaman dan pelaksanaan ganti rugi yang diberikan kepada warga korban, mengakibatkan hilangnya hak warga atas hak milik dan hilangnya kedaulatan negara atas tanah yang didalamnya masih terdapat kandungan sumber daya alam. Ganti rugi warga korban menjadi skema jual beli tanah dan bangunan warga korban yang sampai saat tulisan ini dibuat masih belum terselesaikan dan mengalami perubahan skema menjadi 4 skema baru yaitu Skema Cash and Carry, Skema Cash and Resetlement, Skema Relokasi Plus dan Skema Wakaf serta dilapangan terdapat 64 KK tidak mengajukan ganti rugi. Pembayaran Cash and Carry mengalami perubahan menjadi cicilan dengan alasan LBI mengalami kesulitan keuangan. Pembayaran ganti rugi 20 % bagi warga juga masih tersisa 349 KK tanpa alasan yang jelas dari LBI sampai saat ini.
  2. Penanganan pengungsi di pengungsian Pasar Porong Baru terbatas dan sejak tahun 2007 Satlak PB Kab. Sidoarjo telah menghentikan pengelolaan pengungsian. Pengelolaan pengungsian yang tidak terkoordinasi dan terkesan seadanya rawan menimbulkan konflik sosial pengungsi.
  3. Berdasarkan catatan terbatas bahwa telah terjadi lebih dari 500 kali demonstrasi warga korban untuk menuntut keadilan dalam proses ganti rugi dan pengungsian baik kepada LBI, Pemkab Sidoarjo, DPRD Sidoarjo, Pemprop Jatim, DPRD Jatim, maupun Pemerintah Pusat di Jakarta sampai hari ini.
Karena ruang yang terbatas maka Tim FPBI akan menuliskan Bencana Kegagalan Teknologi Lumpur Lapindo dalam beberapa rangkaian seri tulisan berikutnya. Tim FPBI memohon doa dan dukungan pembaca karena Tim FPBI akan meninggalkan lokasi bencana tepat pada 3 tahun bencana ini terjadi yang selalu menimbulkan kepedihan dan penderitaan bagi masyarakat sipil tersebut.
»»  read more

Desakan Relokasi Tiga Desa


Dinilai sudah tidak layak huni dan berbahaya. Tim Pemantau Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (TP2LS) DPR RI meminta relokasi 3 (tiga ) desa segera dilaksanakan yaitu Kel. Siring Barat, Jatirejo dan Mindi yang semuanya berada di wilayah Kec. Porong. Permintaan itu didasarkan pada kondisi wilayah tersebut yang sangat tidak layak lagi untuk dtinggali, sesuai hasil survey Tim Independen. Adapun terdapat 9 Rukun Tetangga (RT) yang masuk dalam rekomendasi tersebut. Kel. Mindi meliputi RT 10, 13 dan 15. Kel. Siring Barat meliputi RT 1, 2, 3 dan 12 sedangkan di Kel. Jatirejo mencakup RT 1 dan RT 2.
Di wilayah tersebut ditemukan 40 semburan aktif yang disertai gas mudah terbakar (bubble).
Rekomendasi ini ditindaklanjuti dengan rencana relokasi, dana tersebut rencanya berasal dari APBN.
Namun Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) belum berkeinginan melaksakan relokasi, Alasannya belum ada petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelaksanaan (juklak).
Ketua Tim TP2LS Priyo Budi Santoso mengabaikan alasan tersebut dan mengatakan ,“BPLS tidak perlu menunggu juknis ataupun juklak, yang penting relokasi dilaksanakan beriringan dengan petunjuk tersebut”
Kondisi wilayah tersebut sudah sangat membahayakan masyarakat. Harapannya relokasi dilaksanakan sebelum jatuhnya korban.
Ketua BPLS Sunarso menganggap bahwa TP2LS selalu berlebihan. Pelaksanaan relokasi harus diikuti juklak dan juknis, sebab anggaran yang dikeluarkan dari APBN harus bisa dipertanggungjawabkan dan ada dasar hukumnya. Jika TP2LS mendesak Sunarso meminta ada hitam di atas putih, seperti surat edaran yang bisa dijadikan dasar pelaksanaan relokasi warga di wilayah tersebut. Petunjuk teknis relokasi diantaranya Status rumah yang ditinggalkan hingga status rumah yang ditempati, apabila tidak diatur secara jelas dapat timbul permasalahan. Kami bekerja sesuai dengan aturan yang berlaku. Sumber : Jawa Pos
»»  read more

Aturan APBN, Kendala Ganti Rugi Warga


Terkait ganti rugi melalui dana APBN di wilayah 3 Desa di Kec. Jabon, BPLS mengaku terganjal peraturan dalam penyelesaian ganti rugi 80 %. Tiga desa tersebut adalah Desa Besuki, Kedungcangkring dan Pejarakan. Penyebabnya adalah revisi Perpres No. 14 Tahun 2007, yang menyebutkan penyelesaian 80% menunggu penyelesaian yang dilakukan Lapindo Brantas, Inc. Padahal sistem yang digunakan Lapindo saat ini adalah angsuran 15 juta per bulan. BPLS memperkirakan penyelesaian itu butuh waktu lama, apalagi nominal yang dibayarkan kepada warga sangat banyak. Jika jumlah ganti rugi mencapai nilai milyaran rupiah berarti tidak selesai dalam setahun. Meski begitu BPLS akan berupaya mencari solusi permasalahan tersebut, yakni membahas peraturan dalam Revisi Perpres No. 14 Tahun 2007. Jika tidak dilakukan upaya pembahasan maka tidak ada kejelasan penyelesaian ganti rugi warga korban. Tiga desa di Kec. Jabon tersebut masuk Peta Terdampak pada April 2008. Dengan waktu penyelesaian yang cukup lama, warga 3 desa tersebut mendapat uang kontrak, jatah hidup (Jadup) dan ganti rugi. Besarnya nominal ganti rugi disamakan dengan ganti rugi yang diberikan Lapindo Brantas dengan skema Tanah Pekarangan 1 juta rupiah/m, Bangunan 1,5 juta rupiah/m dan Tanah Sawah 120 ribu rupiah/m yang anggarannya diambilkan dari APBN. Uang muka ganti rugi 20% dibayarkan BPLS kepada warga pada bulan Oktober 2008. Bersama itu dibayarkan juga uang kontrak dan jadup. Sumber : Jawa Pos
»»  read more

Minggu, 05 April 2009

Tsunami, Gelombang Dekat Pelabuhan


Tsunami, sebuah kata identifikasi ancaman yang terdengar aneh dan asing. Namun sejak kejadian Bencana Tsunami di Aceh tahun 2004, nama itu menjadi terkenal dan sering di sebut-sebut di berbagai kesempatan dan media di seluruh dunia. Darimanakah asal kosakata ini, kalau mau berpikir secara lebih dalam dan menurut kebiasaan peristilahan kata tersebut dimungkinkan berasal dari wilayah yang sering dilanda bencana tersebut. Jepanglah asal kata yang mengerikan tersebut. Menurut bahasa Jepang (Hiragana), Tsunami berasal dari kata “Tsu” yang berarti pelabuhan dan “Nami” yang berarti gelombang. Berarti Tsunami mempunyai terjemahan bebasnya adalah gelombang di dekat pelabuhan, yang telah ada sejak beberapa abad yang lalu. Sejarahnya berawal dengan ditemukannya naskah kuno dari zaman pemerintahan kerajaan Shogun. Dinasti Tokugawa Shogun (1603-1867) yang merupakan pemerintahan tertinggi di wilayah Edo (sekarang Tokyo) telah mencatat bahwa terjadi bencana Tsunami di kawasan pesisir pantai Kuwagasaki, Tsugaruishi, Otsuchi, Miho dan Tanabe pada tanggal 26 Januari 1700, dengan skala kekuatan 9 Mw dan berpusat di Cascadia, Utara Amerika.

Di wilayah Indonesia, Tsunami juga menjadi ancaman yang potensial karena negeri kepulauan ini berpangku pada 4 lempeng tektonik teraktif di dunia; Indo-Australia, Eurasia, Pasifik dan Philipina. Berdasarkan data dari berbagai sumber, sejak tahun 1801-2006 tercatat 164 kejadian Tsunami. Selama kurun waktu 1991-2006 telah terjadi 23 kali gempabumi skala richter tinggi yang secara potensial telah menyebabkan 10 kejadian Tsunami merusak, seperti misalnya terjadi di Flores thn 1992, Banyuwangi thn 1994, Biak thn 1996, Banda Aceh thn 2004 dan yang paling baru terjadi di Pantai Pangandaran, jawa Barat thn 2006.

Tsunami di Banda Aceh tanggal 26 Desember 2006 merupakan mimpi terburuk bagi Negara Republik Indonesia.

Bencana terbesar selama dua dekade terkahir abad ini dengan jumlah korban kurang lebih 400.000 jiwa meninggal dan mengakibatkan kehancuran dahsyat seluas ribuan kilometer di daratan Aceh. Sejak terjadinya gempa, diperkirakan 30-40 menit kemudian gelombang Tsunami akan mencapai pantai terdekat dengan ketinggian gelombang inundasi 36 meter. Amplitudo gelombang Tsunami telah mencapai ribuan kilometer dari Banda Aceh, hingga mencapai Malaysia, Myanmar, India, Srilanka, Maldives dan Somalia di pesisir timur Benua Afrika. Peristiwa yang mengerikan dan telah mengundang empati seluruh dunia. Gempa hebat dengan skala 9.1 SR di dekat pulau Simeleu akibat bertumbukan lempeng Indo-Australia dengan Eurasia. Gempa bumi terbesar ke lima di dunia sepanjang sejarah pencatatan gempa dengan seismograf, yang merupakan gempa berulang selama 100-400 tahun lalu. Tercatat gempa besar terjadi di perairan Padang sampai Bengkulu pada 150 tahun silam, pada tahun 1833 tercatat dengan skala 8,5 SR dan pada tahun 1833 dengan skala 8,9 SR. Tidak kurang mengerikan menurut seismolog bahwa gempa di Aceh tersebut telah diperkirakan membuat sesar raksasa sepanjang 1.200 km dengan lebar 300 km dari perairan Pulau Simeleu NAD sampai ke Utara yaitu Kepulauan Andaman.
»»  read more

Sabtu, 04 April 2009

Indonesia, Hypermarket Bencana

Bencana alam dapat terjadi secara tiba‐tiba maupun melalui proses yang berlangsung secara perlahan. Beberapa jenis bencana seperti gempa bumi, hampir tidak mungkin diperkirakan secara akurat kapan, dimana akan terjadi dan besaran kekuatannya. Sedangkan beberapa bencana lainnya seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, letusan gunungapi, tsunami dan anomali cuaca masih dapat diramalkan sebelumnya. Meskipun demikian kejadian bencana selalu memberikan dampak kejutan dan menimbulkan banyak kerugian baik jiwa maupun materi. Kejutan tersebut terjadi karena kurangnya kewaspadaan dan kesiapan dalam menghadapi ancaman bahaya.

Mengapa wilayah negeri ini seolah menjadi hypermarket bencana, peristiwa demi peristiwa bencana silih berganti. Menimbulkan kepanikan, kerusakan, kerugian dan jatuhnya korban. Di sisi lain juga memunculkan fenomena saling menyalahkan. Secara geografis, geologis, hydrometeorologis dan demografis wilayah Republik Indonesia mempunyai tingkat risiko yang tinggi.

Dalam eksisting geografis wilayah ini berupa kepulauan yang terletak di daerah garis khatulistiwa. Terdapat 17.583 pulau dan kepulauan, yang dihuni sekitar 230 juta penduduk dalam 33.000 desa, 325 kabupaten/kota, dan 33 propinsi. Penduduk Indonesia terdiri dari kurang lebih 200 etnik/suku dengan 583 bahasa dan 5 kepercayaan agama. Hampir sebagian besar masih hidup dalam kemiskinan sehingga mempunyai kemampuan rendah dan kerentanan tinggi.

Secara geologis negeri ini juga menyimpan ancaman yang tinggi, hal ini terlihat bahwa kepulauan tersebut terletak pada jalur tektonik dan seismik yang terpanjang dan teraktif di dunia. Di sebelah selatan terdapat lempeng Indo-Australia, di sebelah utara terdapat lempeng Eurasia dan di sebelah timur ada lempeng Pasifik yang ketiganya mempunyai pergerakan 12 s/d 100 cm setiap tahunnya. Di samping itu juga terdapat sabuk api (ring of fire) berupa jalur vulkanik sehingga negeri ini terdapat 500 gunungapi yang 129 diantaranya aktif.

Belum lagi secara hydrometeorologis, Indonesia mengenal 2 musim yaitu musim kemarau dan hujan yang memiliki 5.590 sungai besar dan anak sungai yang diidentifikasi 600 sungai diantaranya mempunyai potensi banjir, juga memiliki luas hutan tropis terbesar ketiga di dunia yang secara ekologis mengalami degradasi dari tahun ke tahun.

Dengan mencermati adanya ancaman yang tinggi (high risk), kerentanan yang tinggi (high vulnerabillity) dan diiringi kemampuan yang rendah (low capacity) ini jadi tak salah apabila Republik ini mendapat julukan Hypermarket Bencana. Berdasarkan data kejadian bencana, Indonesia rata-rata bisa mengalami bencana 1 – 3 kali sehari. Pada rentang tahun 2006-2007 saja terjadi 205 peristiwa, dengan 15 jenis bencana yang menimpa 28 propinsi di Indonesia.
Peristiwa bencana mempunyai kebiasaan berulang di suatu tempat, entah 100 sampai 400 tahun sekali.
»»  read more

Followers

Dialog Peduli


ShoutMix chat widget