Sabtu, 09 Mei 2009

Negara Dikalahkan Dalam Kasus Lapindo

Kedatangan korban lumpur dipicu sikap Lapindo yang merevisi janjinya untuk sisa 80 persen pembelian aset tanah dan bangunan korban lumpur. Pada Desember 2008, Lapindo menyatakan akan membayar kekurangan secara cicilian sebesar Rp 30 jt per bulan per berkas. Namun akhir Febuari lalu , Lapindo menyatakan hanya mampu melakukan pembayaran secara cicilan sebesar Rp 15 jt per bulan per berkas. Krisis ekonomi global menjadi alasan. Bagi korban lumpur, mekanisme pembayaran semacam itu melangar kesepakatan awal yang diatur dalam Perpres No 14 Tahun 2006 Tentang Badan Penangulangan Lumpur Sidoarjo. Dalam Perpres itu, Lapindo diwajibkan menyelesaikan pembayaran 80 persen paling lambat 2 th sebelum masa kontrak para korban selesai. Respons korban pun beragam. Keberagaman ini didasarkan kepentingan yang berbeda, salah satunya terkait disparitas kepemilikan aset tanah dan bangunan. Ada warga menerima saja karena asetnya kecil. Mekanisme pembayaran secara cicilan tidak masalah karena dalam waktu singkat akan lunas. Namun, tidak sedikit warga yang jumlah asetnya besar, bahkan ada yang mencapai hampir Rp 5 millyar untuk 1 berkas. Jika dicicil Rp 15 jt per bulan, seluruh kerugiannya baru akan lunas setelah 25 tahun berjalan. Menariknya lagi, sampai saat ini masih ada berkas yang belum lunas uang muka yang 20 persen. Berdasarkan data dari BPLS masih tersisa 349 berkas yang belum menerima pemabayaran 20%, padahal berkas itu sudah dikrim berkali-kali sejak tahun 2008. Usaha memberikan ganti rugi kepada korban lumpur tidak lebih dari sekedar tindakan jual beli aset tanah dan bangunan. Penjualnya korban lumpur, pembelinya Lapindo. Penjual merasa ”barang dagangan” mereka sudah diambil pembeli. Berkas sudah ditangan pembeli, tetapi pembeli masih belum melaksanakan kewajibanya, membayar barang sesuai dengan kontrak awal. Hal penting yang menjadi sorotan publik adalah fakta, di Sidoarjo sedang terjadi pemindahan status kepemilikan tanah dan bangunan dari individu ke korporat jelas memunculkan pertanyaan besar. Bahkan beberapa pihak mengatakan tindakan itu melangar hukum. Namun proses pemindahan status kepemilikan tanah itu di atur oleh hukum positif, yaitu Perpres No 14/2006.

Penyelesain Masalah
Lepas dari kenyataan ini, penyebab utama ketidakjelasan penyelesaian masalah kasus Lumpur Lapindo ini adalah masih belum jelasnya penyebab semburan lumpur. Davies et al (2008) mengatakan gempa Yogyakarta (26/5/2009) tidak bisa memicu semburan karena jarak yang jauh, serta telah terjadi gempa-gempa lain di sekitar wilayah Sidoarjo, tetapi tidak menyebabkan semburan. Namun, Davies juga tidak bisa mengatakan bahwa semburan lumpur adalah 100 persen murni akibat kesalahan pengeboran.
Ketidakje;asan ini berdampak pada siapa yang harus bertanggung jawab atas kasus ini. Apakah pemerintah pusat jika ini adalah bencana alam? Ataukah Lapindo Brantas, Inc., jika ini adalah bencana kegagalan teknologi. Sulit untuk menelusuri terjadinya lumpur karena semua bukti sudah terbenam lumpur atau sengaja dibenamkan pada lumpur purba itu. Namun penanganan bencana yang terjadi akibat semburan lumpur tidak bisa hanya menunggu kepastian hukum. Pembayaran ganti rugi adalah satu dari sekian banyak problem yang muncul akibat kegagalan ini. Salah satunya adalah tentang pembangunan kembali (relokasi) infrastruktur transportasi utama di Jawa Timur, yang merupakan jalur penghubung utama Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya dengan wilayah-wilayah industri di sekitarnya. Tak bisa dipungkiri bahwa Pelabuhan Tanjung Perak adalah pintu keluar sekaligus pintu masuk barang dan jasa tidak hanya bagi wilayah-wilayah tersebut, tetapi juga Indonesia bagian timur (Dick, 2005).
Pada kasus Lapindo, posisi negara selalu buram. Sikap permisif yang ditampilkan negara pada Lapindo, yang selalu mengingkari peraturan dan perundang-undangan sebagai regulasi penanganan dampak lumpur lapindo di Sidoarjo menunjukkan lemahnya posisi tawar negara atas korporasi. Seringkali negara diharuskan mendukung dan memenuhi kebutuhan korporasi, sekalipun harus mengorbankan rakyatnya sendiri. Namun ketika korporasi merugi, rakyatlah yang harus menangung kerugian itu.
Kini kerugian yang harus dialami korporasi akibat krisi keuangan sedang ditanggung oleh korban lumpur. Dengan menunggak pembayaran, Lapindo tengah menumpuk utang (tanpa bunga) pada para korban lumpur. Karena itu yang dibutuhkan korban lumpur saat ini adalah ketegasan dari negara sebagai institusi yang menjamin hak-hak warga negaranya. Apabila negara tak bisa menjamin kedaulatan rakyatnya, kepada siapakah korban lumpur harus berlindung. Sumber : Kompas

Comments :

0 komentar to “Negara Dikalahkan Dalam Kasus Lapindo”

Posting Komentar